Saat kita pahami arti perjuangan..maka kita telah siap melangkah diatas batu yang tajam..terjatuh dalam jurang yang terjal..dan tersesat dalam luasnya padang..hanya orang MUKHLIS..yang tetap mampu BANGKIT dan BERGERAK...Keep ISTIQOMAH...!!!
Aisya-Bakari

Hmm..sangat ingat dgn lagu ini (Aisya-Bakari:pen)..lagu favoritnya mama dan papa..pernah dgr cerita ini juga dari papa..duh..jadi kangen rumah..hiks..hiks...

Oleh : El Nino

Pengantar : Kisah ini disadur dari lagu berjudul “Aisa Wawu Bakari” karya Sofyan Mohi di pertengahan dekade 80-an. Seorang sosiolog pernah mengulas cerita ini di Manado Post tiga hari berturut-turut. Saya menuliskannya kembali dalam bentuk cerpen setelah mendengar langsung tuturan si pencipta lagu tersebut. Tentu saja ada penambahan di sana-sini untuk memperkaya karya sastra—yang semuanya merupakan tanggung jawab penulis.***

Gorontalo di awal 1983…

Seorang pemuda buta aksara bernama Bakari. Dia jatuh cinta kepada Aisa, gadis jelita putri tunggal pak Haji Bado yang cukup berada. Maklum, harta si Haji berlimpah dan dia terpandang karena bros emas anggota DPRD tersemat di jas hitamnya.

Sulit betul bagi Bakari beroleh cinta dari dewi pujaan. Haji Bado mematok dua syarat utama bagi calon menantunya. Pertama, si pemuda mestilah taa ma’o karaja. Kedua, harus mampu menggelar pesta pernikahan dengan upacara adat lengkap. Mengapa? “Karena anak saya ini seorang diplomat…!,” begitu selalu alasan Haji Bado. Maksud si haji, Aisa berpendidikan Diploma (D1, D2 atau D3). Sudah tinggi-tinggi disekolahkan, masa’ dihargai murah…. Harus
mahal dong…

Bakari nyaris putus asa. Semua orang Gorontalo mengerti, terma taa ma’o karaja hanya berlaku bagi pegawai negeri. Petani, pedagang, nelayan, dll bukanlah taa maa o karaja, melainkan woluwo u he karaja liyo. Bakari hanya petani. Penggarap pula. Syarat pertama sudah menggugurkannya.

Tambah galau sukma Bakari karena dia pun tidak punya uang cukup untuk menyelenggarakan upacara perkawinan adat yang lengkap. “Untuk beli limu dan patodu saja saya tidak punya uang, apalagi untuk beli sapi dan sewa pu’ade…belum lagi untuk sadaqah para penyelenggara
upacara adat,” kesah hatinya.

Padahal hampir semua orang tahu bahwa Bakari mencintai Aisa meski Aisa belum tentu mencinta balik. Bakari stress berat, hingga akhirnya dia mengambil keputusan untuk hijrah. “Saya harus mobite de Moladu, cari doyi, daripada malu di sini.”

Berangkatlah dia ke Manado bertangan kosong. Segala angan tentang Aisa hanya disimpannya di memori dan lubuk hatinya. Di kapal laut, selama tiga hari dia harus jadi pesuruh ABK sebagai hukuman karena tidak memiliki karcis.

Sesampainya di pelabuhan Manado, Bakari hanya termenung-menung sendiri. Dia bingung, kemana mesti mengarah, kesiapa mesti bercakap. Untuk momolayu saja lidahnya tak biasa. Kalau dia memaksakan diri momolayu, orang pasti bisa menciri bahwa dia orang baru. “Jangan-jangan karena ketahuan sebagai orang baru, saya akan mereka tipu,” Bakari was-was. Maka, setiap bersua dengan orang berlogat Manado, dia berlagak bak bubu.

Mujurlah Bakari, dia akhirnya mendengar sebuah percakapan dalam bahasa Gorontalo. Didekatinya orang-orang yang berbincang itu. Dan bersuaralah dia dalam bahasa daerah. “Ju….ju…..saya orang Gorontalo, baru sampai dari Gorontalo tadi subuh,” Bakari menyapa. “Ooo, hulondlalo ?” sambut mereka akrab.

Usai mengeluhkan riwayat singkat hidupnya, akhirnya Bakari beroleh pekerjaan di sana. Bosnya, Paci Man, orang Gorontalo juga. Tugas Bakari dalam perusahaan kecil ini adalah mengantarkan gentong-gentong air bersih ke warung-warung makan di pasar-pasar. Belum ada PAM kala itu. Para pemilik warung yang kebanyakan berdarah Gorontalo itu menjadi pelanggan air dari sumur Paci Man.

Sebulan kemudian. “Bakari, napa ngana pe gaji, uti…,” Paci Man sembari tersenyum ramah. “O, Paci simpang jo dulu… nanti kita mo ambe wondlo-wondlolo…,” tukasnya mulai mendemonstrasikan kemampuan momolayu.

Tiga tahun sudah.

Jam 8.00 pagi, Bakari mengantar gentong air ke warung-warung. Jam 10.00 dia berjualan rempah-rempah di Pasar-45. Jam 12.00 kembali mengantar gentong air. Jam 14.00 dia berjualan lagi. Jam 16, urusan air lagi. Habis magrib, dia mendengarkan lagu-lagu di radio. Setiap hari, begitulah kegiatan Bakari. Dan setiap mendayu lagu cinta di pesawatnya, hanya paras Aisa yang mengalir deras dalam darah otaknya.

“Bakari, napa ambe jo ngana pe doi. So banya ngana pe doi, uti…,” Paci Man berkata. Bakari lalu menghitung uangnya dengan jejari yang kasar. “Ih, so cukup ini kang…,” kaget juga dia dengan jumlah uangnya yang berlebih. Hei, tunggu. Rupanya ada wajah Aisa di lembaran-lembaran uang itu. “Memang stow so kita pe takdir mo kawin pa Aisa,” tutur Bakari, pelan, bersenyum sumringah. Pamitlah si pemuda ini ke majikannya. Dia ingin pulang ke Gorontalo. “So mo kawin akang ini doi, Paci…So bole…,” ungkapnya.

Via pesawat terbang Bakari tiba di bandara Djalaluddin. Kacamata hitam bertengger di atas hidungnya. Dan, ow… baju dan pernak-pernik itu mirip betul dengan yang dikenakan Rhoma Irama setiap mentas. Duh Bakari tampil beda. Baru-baru bajunya. Mahal-mahal harganya. Besar-besar koper yang dibawanya.

Suatu malam di rumah Aisa…

“Pak Haji, saya te Bakari, baru pulang dari Manado… Datang kamari cuma satu tujuan… mo maso minta pa Aisa…”
“Ehm…” batukan pak Haji memotong suara Bakari, “Maa o karaja?
“Sudah, pak Haji…”
Totonu?”
“Saya ini…. ehm… Kepala Dinas Perairan Merangkap Operasi di Jalan-Jalan…”

Pak Haji sedikit merapikan duduknya. Rupanya Bakari yang sekarang bukan Bakari yang dulu. Bakari sekarang adalah orang hebat di Manado. Lihat pakaiannya rapi-papih. Cara ngomongnya yang modern. Kepala Dinas Perairan pula.

“Kalau pak Haji nyanda stuju, nyanda apa-apa kwa’...”
“Oh, bukan bogitu, pak Bakari… Bukan bogitu… Saya sotuju… Saya sotuju…”

Setarikan nafas kemudian Haji Bado memanggil putrinya. Bakari tampil percaya diri. “Kita ini orang hebat, masa’ Aisa nyanda mau,” pikirnya. Dan dia betul. Senyum Aisa melukiskan rasa suka. Sudah lama dia tidak merasa suka kepada pemuda yang cocok dengan selera si bapak. Selama ini dia kuatir jadi perawan tua lantaran cowok-cowok yang dicintainya selalu tak mampu penuhi persyaratan sang ayah; pegawai negeri dan upacara adat pernikahan yang lengkap. Gadis ini tahu, Bakari memiliki cinta sejati padanya. Buktinya, setelah bertahun-tahun berpisah pemuda itu tetap berharap padanya. Alhamdulillah pula jika Bakari kini mampu memenuhi semua permintaan ayahnya.

Maka berlangsunglah pesta pernikahan termegah di kampung itu. Berjenis-jenis buah-buahan menghiasi upacara dutu, dari mangga yang murah sampai apel yang mahal. Dari kue karawo sampai susu kaleng ada di situ. Dua ekor sapi bali disembelih untuk acara resepsi. Upacara pernikahan yang cukup heboh.

Kedua keluarga mempelai boleh sedikit mengangkat dagu ketika disapa orang. “Sombong sedikit tidak apa-apalah… Toh tidak ada orang lain yang bisa bikin pesta semewah ini,” kata suara di benak mereka. Para penyelenggara adat tersenyum riang, meski peluh menetes di dahi karena mereka harus mengeluarkan segenap kemampuannya dalam ber-tuja’i. Senyum tanda sejahtera.

Malam pertama, malam kedua, malam ketiga… Bakari dan Aisa menikmati cinta mereka. Jarang betul mereka keluar kamar. Tidak ada yang perlu dikuatirkan. Uang masih ada. Kado yang terkumpul cukup banyak dan mahal-mahal. Kawan-kawan Haji Bado yang menghadiahi aneka kado itu. Harap maklum, para tamu kebanyakan adalah anggota DPRD atau pejabat pemerintahan setempat. Anggota keluarga yang miskin tak ada yang diundang—kalau pun ada yang datang, nongkrong di dapur saja. Selektif betul Haji Bado mengundang tamunya.

Hari kesepuluh pernikahan Bakari-Aisa. “Bakari, kamu tidak cepat-cepat pulang ke Manado. Bagaimana dengan tugas-tugasmu di sana?” tanya Haji Bado. “Papa tenang jo… Kita so minta cuti satu bulan. Dorang di sana tau kita baru kaweng,” tukas Bakari.

Pak Haji mulai curiga. Masa’ iya cuti kawin bisa sampai sebulan. Kecurigaan itu semakin menjadi ketika didapatinya Bakari sedang serius membaca koran secara terbalik. “Bagaimana bisa kamu membaca koran kalau gambarnya saja hala-halandluyi begitu?” tegur pak Haji. Awalnya Bakari gelagapan juga dengan pertanyaan itu hingga dua detik kemudian dia menemukan jawabnya, “Yih, bo ti papa bulum tau…Yang biasa itu cara baca koran orang yang baru lulus SMA… Kalo so Kapala Dinas macam kita harus bisa baca koran tabubale. Ini luar biasa de pe nama…”

“Saya ini memang anggota DPRD bodoh. Tapi baca koran hala-halandluyi itu tidak masuk akal orang pintar sekali pun,” gumam Haji Bado meski dia tetap ragu dengan pendapatnya sendiri.

Bakari masih keasyikan memacari isterinya. Aisa juga merasa puas dengan semua yang ada di diri arjunanya. Pokoknya, bahagia. Hari keduapuluh pernikahan, barulah Bakari mulai diusik pikiran-pikirannya sendiri. “Sampai kapan kau membohongi seluruh dunia, Bakari? Apalagi, uangmu sudah habis. Bagaimana kau bisa terus bahagiakan Aisa? Apalagi Haji Bado mulai curiga denganmu. Kalau ketahuan, kau bisa dikubur hidup-hidup!” kalimat-kalimat yang menggelayut di benaknya.

“Sayang…,” Bakari sembari membelai kepala Aisa yang tersandar ke dadanya, “… ada yang kita mo bilang pa ngana… tapi ngana jang mara wa….”

“Apa kaka….” tukas si kekasih.

Bakari ingin sekali berkata jujur tentang semuanya. Toh dia masih punya cinta yang bisa diandalkan Aisa. Cinta yang tulus, tak terduakan. Namun sekelebat pikiran melempar niatnya itu jauh-jauh, “Kalau kau jujur, kau bisa mati!”

“Sayang… ti kaka mo pulang dulu ka Manado. So abis cuti ini sup…Besok ti kaka mo barangkat. Tidak apa-apa waa….” akhirnya dia berbohong lagi.

“Tidak apa-apa, kaka… Yang penting ti kaka capat pulang kamari pooli. Atau saya ikut ka Manado jo waa… Torang kan so kawin… so suami-isteri…”

“Yih, tidak usah iko…”

“Kiyapa?”

“Parampuang pasung macam ngana bisa bahaya di Manado. Di sana nyanda ada cewek pasung. Kalo ngana kasana, bahaya no’u… Lebe bae di sini jo. Paling-paling ti papa nyanda mo kase olo ngana ka Manado. Biar jo, nanti ti kaka mo datang-datang kamari.”

“Butul?”

“Butul! Tapi…”

“???”

“Ti kaka so nyanda ada doyi mo sewa akang kapal ka Manado…”

“Ti kaka tida usah kuatir. Bawa jo dulu kita pe perhiasan… Nanti kalo so di sana, bili akang ulang. Kan so ada gaji…”

“Iyo… tapi jang bilang-bilang pa ti papa waa… Tako kita…,” kali ini suara Bakari melemah. Ribuan rasa berkecamuk saling menggebuk di dalam hatinya. Senang, tidak. Sedih, bukan. Tapi matanya sedikit berlinang.

Maka pamitlah dia ke seisi rumah. Kembali ke Manado dengan modal perhiasan pemberian sang isteri.

Dua-tiga bulan berlalu. Bakari kembali menjalani rutinitasnya sebagai “Kepala Dinas Perairan Merangkap Operasi di Jalan-Jalan”. Jam 8.00 pagi, mengantar gentong air ke warung-warung. Jam 10.00, berjualan rempah-rempah di Pasar-45. Jam 12.00 kembali mengantar gentong air. Jam 14.00, berjualan lagi. Jam 16, urusan air lagi. Habis magrib, dia mendengarkan lagu-lagu di radio.

Hanya malam yang terasa berbeda. Dulu, dia masih bisa tersenyum mendengar lagu cinta di radio. Kini, lagu cinta yang sama malah membuatnya sedih. Betapa sebuah hati seorang perempuan yang telah ditaklukannya harus sakit. Ingin sekali dia bersurat kepada Aisa. Tapi bagaimana mungkin? Hanya 14 hurup yang dia kenali, dari ‘A’ sampai ‘N’ yang ada di kupon-kupon Porkas dan selalu dibahas orang. Merangkai hurup jadi sebuah kata, dia tidak tahu. Minta dituliskan orang lain, dia malu… takut kejujurannya justru akan membuatnya dicemooh semua orang.

Di Gorontalo, Aisa terus dilanda rindu. Menangis dia setiap hari. Menyebut nama Bakari di setiap doa yang dipanjatkan. “Ya Allah, berikanlah rejeki banyak-banyak kepada Bakari, supaya kami bisa hidup bahagia,” pinta Aisa kepada tuhannya. Haji Bado jadi jarang keluar rumah. Dia sudah tahu betapa para tetangga mulai menggunjingkan putrinya yang ditinggal suami berbulan-bulan tanpa kabar. Malu dia.

Sepuluh kali bulan purnama, tak sehurup pun kabar dari Bakari. Aisa gelisah. Berangkatlah dia, ditemani Haji Bado, ke Manado. “Pak, kenal yang namanya Bakari, Kepala Dinas Perairan Merangkap Operasi di Jalan-Jalan?” tanya Haji Bado kepada siapa pun yang bersua dengan mereka di kota itu. Hanya gelengan kepala jawabannya. Sehari, dua hari… Haji Bado dan Aisa hampir putus asa. Sudah ratusan orang yang mereka tanyai, tak satupun yang tahu tentang Bakari.

Akhirnya mereka bersua dengan Paci Man yang tak lain adalah bos Bakari. “Dia bilang dia Kepala Dinas di Jalan-Jalan? Waduh, pak Haji… pak Haji musti pigi pa ta pe rumah…” ajak Paci Man.

Bak cerita di film-film Rhoma Irama… Bakari masih bermandikan peluh dan debu ketika istri dan bapak mertua mendapatinya. “Kamu laki-laki kurang ajar…!!!! Tidak tanggung jawab!!! Kamu buta hurup ponipu!!! Kamu tidak tahu saya ini anggota dewan??!!! Saya ini orang torhormat!!! Kamu tidak tahu dia (Aisa-pen) ini diplomat ??!!! Dia ada skolah…!!! Kamu tidak…!!! Mulai hari ini kamu saya nyatakan corai dengan anak saya…!!!”

Bakari hanya terdiam, tak mampu membantah, hanya tatapan kasih yang bisa dia berikan kepada Aisa. Hatinya berkata, “Aisa… saya sudah berusaha semampu saya…”

Tapi Aisa rupanya sedikit mewarisi sifat ayahnya. Dia kecewa. Ternyata Bakari bukan kepala dinas. Fakta, ia yang lulusan Diploma-3 bersuamikan seorang gembel!!! Aisa menangis… bukan sebab cinta, tapi karena merasa malu sudah berhasil ditipu seorang butahuruf sehingga kehormatan keperempuanannya pun rela dia berikan. Segala harta perhiasan dia korbankan!

Pohalinga mayi u’lau…Bakari… pohalinga mayi ula’u…,”ratap Aisa. Haji Bado mencoba menenangkan putri tunggalnya. “Sudah…sudah… kamu tidak perlu menangis. Toh kamu tidak mengandung bayinya. Dia itu impossible… impossible…!!!! Apalagi yang kau harapkan darinya??!” tegas Haji Bado bermaksud mengatakan bahwa Bakari adalah pria yang impotent. “Kamu masih cantik, Aisa… kamu masih bisa dapat suami yang mampu memberikan semua yang kamu mau, termasuk seorang anak,” kata si bapak sembari menarik tangan putrinya, pulang ke Gorontalo.

Bakari masih terduduk membeku. Tapak-tapak kepergian Aisa masih dia jejaki dengan pendar pandang kabur tertutup air mata. Tubuhnya gemetar. Duka yang berkecambah. Keterhinaan di mata dunia bukanlah apa-apa. Tapi kehilangan Aisa adalah kehilangan jiwa penopang semangat hidupnya. Kehilangan dirinya sendiri….***


Keterangan Istilah
(urutan berdasarkan pemunculan):
taa = orang yang…
maa o karaja = sudah memiliki pekerjaan tetap
diplomat = atase di Departemen Luar Negeri
woluwo u he karaja liyo = ada yang dia kerjakan setiap hari
limu = lemon, jeruk
patodu = tebu
pu’ade = pelaminan
sadaqah = upah/sedekah
mobite = merantau/berlayar
Moladu = Manado
doyi = duit
karcis = tiket
momolayu = berbahasa Manado
bubu= bisu tuli
ju….ju… = tuan…, tuan…
hulondlalo = Gorontalo
wondlo-wondlolo = sekaligus/kumulatif
uti = sapaan bagi laki-laki yang lebih muda
te = si (untuk laki-laki)
maso minta = melamar
totonu = dimana
dutu = upacara hantaran/persembahan
kue karawo = sejenis kue khas Gorontalo
sapi bali = jenis sapi bertubuh besar
tuja’i = sajak-sajak
hala-halandluyi = tabubale = terbalik
ti = sapaan bagi orang yang dihargai
kaka = kakak
pooli = lagi
waa… = ya…
iko = ikut
pasung = cantik-mulus
no’u = sapaan bagi perempuan yang lebih muda
Porkas = kupon judi berkedok olah raga, semacam SDSB
corai = cerai
pohalinga mayi u’lau = kembalikan milikku

----ADZKIA----
Bdg_26.04.10_14.37

Duh...setelah dibaca..kok bahasa gaulnya Gtlo di cerpen ini lebay abis yaaa...adodoeee....hammaa...



Share
3 Responses
  1. chalie Says:

    Hmmmmmmmmmm.... Depe logat sama deng bhasa Buol do'...

    Btw... Kong bmana deng aisah dang...???


  2. Unknown Says:

    Yaa..Aisya pulang kampung no..lupa juga dgn lagunya..papa deng mama yg hafal butul deng ni lau..^_^


  3. Anonim Says:

    Waahhhh,,, Cerpen asli buatan Teh Rahma ya...
    Sugooiii ne ;)


  • Salam Ta'aruf

    Rahmah Archivienna,,,
    seorang muslimah yang masih terus belajar mengenal, memahami dan mencoba istiqomah menapakkan kaki di jalan perjuangan menegakkan dien-Nya,,,menyukai hujan,,,dunia arsitektur,,,kota Vienna-Austria,,dan musim gugur,,,,selain membaca, menulis, dan backpacker,,,seorang Rahmah Archivienna juga seorang penikmat film meskipun tidak sampai pada taraf addict,,,ada satu syarat ketika seorang Rahmah Archivienna memutuskan menikmati film,,yaitu bertema sejarah/konspirasi/arsitektur, khusus drama seri Korea ada syarat lainnya,,,ketika pemerannya si "Smile Boy" a.k.a Lee Seung Gi,,, ^^

    Last but not least,,,terima kasih sudah menyempatkan diri mampir di blog ini,,,serupa sketsa yang lugas yang selalu tak memerlukan sentuhan berlebihan,,,tak memerlukan "make up" yang memupus "kecelakaan",,,maka seperti inilah blog ini ditampilkan,,,


    Best Regard,
    "Arsitek" Peradaban

    Rahmah Archivienna

    Rahmah Archivienna

    SpiritDakwahKu...

    Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.

    (TQS. 9:128)

    Nasehat Murrobiyahku..

    ..perbanyaklah bekal..karena perjalananmu amat jauh…

    ..perbaharuilah semangat pengabdianmu pada ALLOH..

    ...karena samudera yang kan kau arungi..amatlah dalam..

    ..bersungguh-sungguhlah dalam beramal..

    ..karena jembatan yang akan kau lewati amat halus..

    ..ikhlaslah dalam beramal..

    ...karena Sang Maha Pengawas Menghargai keikhlasanmu..

    ..tetap semangat mujahidahku...

    Kampus Impianku

    Kampus Impianku

    I'M COMING...^_^

    I'M COMING...^_^